Foto Bersama Ibu Maduratna di arena sekaten Yogyakarta |
Oleh: Ph. Angga Purenda
Ibu-Ibu separuh baya ini
menjajakan sate kere di pasar malam Yogyakarta. Baginya menjual sate kere
sebagai upaya pelestarian tradisi sambil mencari uang jajan. Bagaimana dengan kehidupannya?
Maduratna
(54) dan suaminya, Budiharjo (64), malam itu terlihat menjajakan sebuah makanan
khas yang digemari oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X di arena pasar malam
Yogyakarta. Mereka menawarkan sate kere
yang berasal dari lemak daging sapi, kemudian ditusuki dan dibumbui dengan cita
rasa yang khas. Tetapi tidak hanya sate kere saja yang ditawarkan, ada juga
sate usus dan sate telur puyuh sebagai pendampingnya.
Awal
2000, Madu memulai menjajakan sate kere dengan berkeliling kampung serta di
arena pasar malam di berbagai daerah. Seluruh wilayah di Yogyakarta pernah Ia
singgahi hingga sampai ke Kota Magelang.
Baginya menjajakan sate kere sebagai bagian tradisi turun temurun dari
keluarganya. “Dulu simbah saya yang awalnya menjual sate kere, lalu saya
lanjutkan hingga sekarang” ujarnya dengan lembut.
Sudah
12 tahun, Madu bersama suaminya setia menjajakan sate kere tanpa takut
tersaingi dengan makanan siap saji. Walaupun malam itu, letak berjualannya
persis di samping makanan ala Amerika tapi tetap saja banyak pengunjung yang
menghampirinya untuk sekedar membeli dan
mencicipi beberapa tusuk sate kerenya.
Baginya
sate kere menjadi ciri khas dari pasar malam yang diadakan di alun-alun utara
Yogyakarta tersebut. Apalagi sate kere sering kali di promosikan oleh Sri
Sultan Hamengkubowono X ketika diwawancarai oleh media. “Pak Sri Sultankan
sering ditanyaiin waktu diwawancarai, makanan khas Jogja apa, ya sate kere ini”
tuturnya dengan penuh keyakinan.
Setiap
harinya jam 4 pagi, Ia bersama suaminya sudah menuju ke pasar beringharjo untuk
membeli bahan utama. Budiharjolah yang selalu setia mengantarkannya dan
menemani istrinya untuk mempersiapkan sate kere sebelum dijajakan kepada
pengunjung pasar malam. Semua racikan bumbu untuk sate kere, Madu siapkan
hingga jam 10 pagi sebelum dibawa ke arena pasar malam di sore harinya.
Asap
dari bara api yang menyala dengan perpaduan harumnya sate kere membuat pembeli
penasaran dengan makanan yang satu ini. Tidak heran pula, malam itu sate kere
ala cheff Madu banyak dibeli oleh pengunjung arena
pasar malam. Hanya dengan membayar Rp
5000 rupiah sudah mendapatkan 4 tusuk
sate kere ini.
Sambil Mencari Uang
Jajan
Walaupun
kehidupannya cukup sederhana, Madu tidak ingin menggantungkan kepada
anak-anaknya yang sudah menikah dan bekerja. Karena baginya dia masih mampu
untuk bekerja dan mencari uang jajan sendiri. Sering kali suaminya, Budiharjo, mencari
uang tambahan dengan menjadi pedagang mainan anak-anak.
Wanita
yang bertempat tinggal di Keparakan Lor, Yogyakarta bersama suami dan dua
anaknya ini tidak memiliki motivasi khusus dalam sikapnya yang terus berjualan
sate kere. Padahal zaman semakin modern dan kini banyak ditemui makanan siap
saji yang lebih primadona di setiap sudut Kota Yogyakarta.
“Saya
tidak ingin apa-apa sebenarnya, saya berjualan sate kere ini ya cuma buat cari
uang jajan saja” ujarnya sambil terus membakarkan sate kere pesanan pembelinya.
Apalagi
dirinya bersama suami tidak mau berdiam diri di rumah dan mengandalkan kiriman
uang dari anak-anaknya. Berjualan sate kere juga untuk mengisi rutinitas setiap
harinya, agar dirinya tidak bosan. Baginya selagi masih sehat dan kuat akan
tetap terus berjualan sate kere.
Memang
sebelum berjualan sate kere, Madu merupakan seorang pengrajin Tas dari kulit di
kampungnya dan memiliki pendapatan yang lebih. Namun semenjak mengalami
kebangkrutan dirinya justru memilih meneruskan tradisi dari keluarganya untuk
berjualan sate kere hingga sekarang.
Selain
meneruskan tradisi dalam keluarga dengan berjualan sate kere, Madu ingin memberikan
pilihan kepada masyarakat mengenai makanan khas dari digelarnya pasar malam di
alun-alun utara Yogyakarta. Sehingga diharapkan pengunjung pasar malam dapat
mencoba lezatnya sate kere dari racikannya.
0 komentar:
Posting Komentar